Dulu,
di saat bulan pernikahan, (tepatnya lupa) sebelum atau setelah akad, papa
bilang begini sama saya “Sekarang kamu jadi istri, bukan tanggung jawab papa
lagi. Pesen papa, yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana cara membahagiakan
suami, jangan berpikir untuk diri sendiri. Harus ngalah, turutin permintaan
suami, apalagi kalau untuk keluarganya.”
Jujur,
sempet terharu (dan sebel) saat papa ngomong seperti itu, hehehe. Terharu biruu
membayangkan (dan sekarang mau nangis, haha) gimana perasaannya ngomong begitu
sama anak pertamanya yang dirawat sejak kecil, dan kok bisa ngomong disuruh
ngalah sama keluarga sendiri, suruh mengutamakan keluarga barunya. Sebelnya ya
itu, kok ya nyuruh anaknya nyenengin keluarga orang lain, dibanding keluarga
sendiri. Sempit banget yaa otak pengantin baruku saat itu, sebenarnya saya
paham, saya harus bisa adil sama dua keluarga, tapi ga nyangka aja dapat pesan
dari papa begitu.
Dan
sekarang setelah 4 tahun menikah, dari awal pernikahan saya mencoba untuk
menerapkan ilmu dari papa. Pelan pelan berusaha ikhlas, ingetnya surga dan
senyumnya suami ^^. Mudah? Enggak, hehe, kadang juga nangis bawang, nangis
kunir, nangis sereh (LOL). Tapi saya yakin, insya allah nanti ada yang akan
saya tuai, insya allah baik dan bermanfaat. Dan pagi ini, saya dapat cerita
dari seorang teman dunia maya di whatsapp, ceritanya tentang mengalahlah dalam rumah tangga. Bismillah…
MENIKAH
: SENI MENGALAH
Beberapa
pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada
ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?
Ibu
menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele
resep sayur lodeh.
“Nikah
ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)
Dua
kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH
Kata
BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati”
misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai
memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu
menjalankannya.
Mengalah
Dan
ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak
18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.
Saat
pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik
agar saya bisa menggunakan piring beling.
Saat
anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk
menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.
Saat
makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian
menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.
Saat
mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan
bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”
Saat
memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk
bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah
yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.
Saat
ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih
besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat
panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu
sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.
Saat
saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar
mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan
meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak
kecoa..”
Saat
saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat,
mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum
terang ia cerna.
Ini
akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta
Entah
bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa
s’lalu aku yang mengalah..”
Enteng
saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat
besar buat saya.
Apa
itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.
Untuk
segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau
menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.
Tapi
sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu.
Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing
sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.
Ya..ya..
pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi
saling menerima. Saling menutupi dan memahami.
Tentu
jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain
memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom
waktu di balik sikap ngalah itu.
Namun
mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik
(baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita,
kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.
Mungkin
ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.
*
Dan
kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu
mengalah padaku?”
Jawabannya
sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:
“Aku
tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak
pernah terpecah belah..”
Untukmu
yang berani mengalah,
Dari
fb: Wulan Darmanto
0 komentar:
Post a Comment
Biar aku bisa jalan jalan ke blogmu, silahkan tinggalkan komen di postingan ini yah